Aku membuka mataku. Aku merasa aku seperti terlahir kembali. Hanya sepenggal memori yang ku punya, yang ku dapatkan dari kehidupanku sebelumnya. Aku melihat orang-orang disekitarku, mendengar mereka memanggil namaku, "Rachel...". Lalu mereka diam, hanya satu suara yang ku dengar. Suara lembut namun harus diiringi oleh isak tangis. Namun akhirnya aku mendengar seseorang berbicara, "Rachel mengalami short lose memories. Ia hanya tidak ingat kepada hal-hal yang ia pikirkan atau ia lakukan beberapa bulan belakangan ini. Sementara untuk ingatan masa lalunya akan baik-baik saja. Saya rasa dengan bantuan orangtua dan teman-teman disekitarnya akan mempercepat proses pemulihan ingatannya.". "Baik Dok." sahut suara yang kukenal sebagai suara ayahku. "Nah, sekarang Rachel, bisa kau sebutkan siapa saja mereka?" Dokter itu memintaku untuk menyebutkan siapa saja yang berada didalam kamar rawat inapku. Aku tidak langsung bersuara, aku menatap wajah mereka satu persatu. Aku mulai dari sisi kiri ranjangku. "Mereka kedua orangtuaku dan kakakku, Dave." kataku. Dokter mengangguk-angguk pelan, sementara kedua orangtuaku tersenyum dengan air mata yang masih membasahi pelan pipi Ibuku. Ayahku memeluknya untuk menenangkannya. Lalu aku berpaling ke sisi kanan ranjangku. "Sementara mereka, sahabat-sahabatku. Elicha, Nadine dan Chrisella." ucapku seraya menyebutkan nama mereka satu persatu. Mereka pun langsung tersenyum lebar, sebagai tanda aku masih mengingat mereka. "Dokter, saya boleh pulang?" tanyaku dengan nada kurang lancar. "Tentu saja, kau bisa pulang hari ini. Saya akan kembali, kau dengan teman-temanmu tunggu disini." jawab Dokter lalu ia keluar ruanganku diikuti oleh kedua orangtuaku dan kakakku. Langsung saja ketika mereka semua pergi, ketiga sahabatku memelukku erat-erat. "Thanks God! Lo nggak pa-pa!" seru Chrisella, atau yang akrab disapa Sella dengan nada riang. Aku hanya tersenyum dibalik punggung mereka. Beberapa saat setelah itu mereka melepaskan pelukannya dan Elicha mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan satu gambar kepadaku. "Lo inget dia?" katanya singkat kepadaku. Gambar itu menunjukkan seorang laki-laki sedang bermain gitar. Aku menggeleng perlahan. Raut wajah ketiga temanku langsung berubah seketika. Namun Elicha kembali menyodorkanku gambar lain. "Kalo foto yang ini? Inget?". Aku menatap gambar itu sejenak. Terlihat seorang laki-laki sedang tersenyum di dalam foto itu. Tersenyum kepada siapapun yang melihat foto itu. Aku berusaha berfikir, mencari-cari siapa kah dia, namun aku pasrah. Aku menggelengkan kepalaku. Elicha mengambil ponselnya dariku dan kurasa ia mencari gambar yang lain, namun Nadine menyelak, "Udahlah Cha! Lo denger kata dokter tadi, dia nggak inget apa-apa, nggak inget sama hal-hal yang baru dia bikin atau dia pikirin. Percuma lo mau kasih seribu foto Ervant ke dia, tapi dia nggak inget apa-apa!". "Ervant? Siapa Ervant?" tanyaku sebelum Elicha membalas kata-kata Nadine. "Tuh kan! Gue bilang juga apa, percuma lo kasih fotonya. Dia aja nggak tau Ervant itu siapa." Nadine kembali berargumen, namun mendapat tanggapan negatif dari Sella yang sedari tadi hanya diam. "Elicha itu usaha, Nad. Kalo kita nggak usaha kayak gini, pemulihannya bakal lama. Kasarannya, lo mau punya temen pikun?". Nadine terdiam, ia memandangiku yang daritadi masih memandangi mereka bertiga, bergantian memandangi ponsel Elicha dengan foto-foto Ervant itu. "Oke kalo gitu, gue punya ide." sahut Nadine sambil tersenyum kepada Elicha, Sella dan aku.
(to be continued...)
(to be continued...)